“Dia menangis di hadapanku sambil memohon untuk memberiku kesempatan lagi, Farah.” Gerry menatap orang yang dicintainya dengan tatapan putus asa.
“Menangis? Dan setelah itu kamu menghabiskan seluruh waktumu hanya untuk memmbuatnya berhenti menangis sehingga kehilangan banyak kesempatan lain untuk masa depan dan kebahagiaan kamu yang katanya ingin kamu perjuangkan disini?! Aku engga ngerti deh.” Farah tidak berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang kecewa di hadapan Gerry yang dia tahu benar Gerry akan selalu frustasi bila telah membuat Farah kecewa.
Gerry merasa gagal, seperti saat Farah memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka 9 bulan yang lalu, ketika Farah mengetahui dirinya menghabiskan waktu bersama teman-temannya di club. Meski dirinya bersumpah hanya menemani Daryl dan Vincent clubbing tanpa alcohol, hanya seteguk red wine, dan lebih banyak equil ditambah secangkir kopi kental. Farah tetap meninggalkannya.
Farah tidak pernah tahu betapa dirinya hancur, sejak itu Gerry selalu ketakutan untuk pergi ke club, meski dua sahabatnya Daryl dan Vincent memaksa. Gerry merasa akan menghianati Farah, padahal mereka bukan lagi sepasang kekasih. Tapi bagi Gerry, Farah adalah kekasih yang selalu bersemayam di sudut hatinya.
“Bukan masalah seteguk red wine Gerry, tapi kamu telah mencoba untuk berbohong sama aku!” Begitu kata Farah waktu itu setelah dengan tatapannya yang sedingin es seperti menguliti dirinya saat mencoba memberikan berbagai macam keterangan seputar “clubbing case”. Farah tidak memotong sedikitpun keterangannya yang berantakan, bukan karena dia ingin berbohong pada Farah, tapi dia memang sangat depresi dengan tatapan Farah yang menusuk seperti itu. Dia sangat mencintai Farah, dia tidak sanggup mengetahui dirinya telah mengecewakan Farah, dia tidak berbohong dengan menyembunyikan “kisah seteguk wine saat clubbing bersama teman-temannya” dia hanya takut mengecewakan Farah, tapi akhirnya Farah mengetahuinya juga, dan dia tetap mengecewakan Farah, maka terjadilah apa yang paling ditakuti Gerry, mendapatkan tatapan dingin tanpa senyum, tanpa kerut kemarahan, tatapan yang paling ingin di musnahkan oleh Gerry, tatapan tanpa ekspresi! Bagi Gerry, itu adalah mimpi buruknya!
“Apa kamu pernah melihat aku marah meledak-ledak Gerry?” Farah masih menatapnya tanpa ekspresi waktu itu, dia menggeleng dengan lemah dan ketakutan, “Apa aku pernah tidak berusaha mempercayai kamu Gerry?” Dia menggeleng lagi, semakin terpuruk tersayat tatapan dingin Farah. “Lalu kenapa kamu pikir aku engga bisa ngerti kalau kamu perlu hang out bersama teman-teman kamu? Kenapa kamu pikir aku engga bisa ngerti kalau kamu perlu sekedar menghangatkan tubuh dengan wine disaat winter?” Dia diam, terpaku dengan segala energy yang menguap entah kemana.
”Kamu tidak pernah percaya bahwa aku percaya kalau kamu pasti punya alasan atas apa yang kamu lakukan. Kamu tidak cukup percaya bahwa aku sedang belajar untuk mengerti kamu karena aku mencintai kamu dengan segala perbedaan yang kita miliki. Itu artinya kamu tidak cukup memiliki sesuatu yang paling penting untuk menjadi pondasi bagi hubungan cinta kita. Maka sebaiknya kita perlu untuk mengkoreksi lagi hubungan kita Gerry.” Kilat seperti menyambar-nyambar dikepalanya saat ini, Farah masih meneruskan bicara, ”Kita tidak bisa bersama bila kita tidak saling percaya dan berusaha untuk jujur satu sama lain.” Dan sekarang badai topan menghantamnya, meruntuhkan setiap sendi tulangnya, dia hanya terpaku menatap punggung Farah yang kian menjauh.
Sekarang, saat dia telah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang teman bagi Farah -- setidaknya dia bisa tetap dekat dengan Farah meski hanya sebatas teman, dan tentunya harapan disudut hatinya yang paling dalam membuncah di dada Gerry untuk bisa kembali ketingkat yang lebih serius, tidak hanya kembali menjadi kekasih Farah, namun menjadi pasangan hidup Farah di sepanjang sisa usianya, mimpi-mimpi yang selalu dijalinnya setiap malam, yang selalu dibawa dalam do’a kepada Tuhan yang tadinya tidak pernah diajaknya bicara untuk mendiskusikan segala hajat atau keinginannya. Farah telah membawanya kembali pada Tuhannya – tapi saat ini, dia telah kembali mengecewakan Farah. Cinta telah membuatnya linglung dan bodoh.
”Kamu benar-benar mencintai Berta, Gerry?” dia menggeleng dengan lemah, Farah masih menatapnya, mengulitinya dengan perih, ”Aku tidak pernah mencintai orang lain lagi setelah Heidy pergi 6 tahun yang lalu kecuali kamu Farah.” jerit Gerry dalam hati dengan pilu. ”Lalu kenapa kamu memberinya waktu dan perhatian seolah-olah kamu memberinya harapan untuk bisa bersama kamu kembali?”
”Sudah aku bilang dia menangis dan memohon, Farah!”
Senyum sarkas menghiasi sudut bibir Farah, Gerry semakin menciut, kemudian menjadi tawa mengejek yang rasanya seperti ingin menelan dirinya bulat-bulat, ”Kamu tidak pernah nonton film atau baca novel Gerry? Tidakkah kamu tahu kalau perempuan itu selalu menangis atau merajuk dan ngambek untuk mendapatkan keinginannya?”
”Ya, dan kenyataannya itu mempengaruhi aku!” Hati Gerry terasa mencelos menucapkannya, ”Tapi kamu tidak pernah menangis dihadapanku seperti wanita-wanita lain yang memohon cintaku, Farah! Apa itu artinya kamu tidak pernah mencintai aku?!” Dia ingin mengucapkannya keras-keras, berteriak sekuat tenaga supaya Farah atau siapapun bisa mendengar jerit hatinya, namun yang terjadi dia hanya diam, dan merasakan perih menusuk-nusuk melukai hatinya.
Farah masih tertawa, kemudian menatap Gerry jenaka dengan kerlip bintang kecil di dalamnya, tatapan yang selalu dirindukannya, ”Sekarang, kalau aku menangis dihadapan kamu kemudian aku bilang, ’Gerry, aku ingin mobil, rumah, perhiasan, keliling dunia, dan lain sebagainya’, apakah kamu akan segera memberikannya ke aku?” Bila tatapan jenaka dan senyum menggoda ini ada pada waktu dan tempat yang tepat, dengan segala kerinduannya dia akan merengutnya dalam dekapan dan membiarkan Farah meronta-ronta sambil memukuli dadanya seperti dulu di waktu yang rasanya telah seabad berlalu... tanpa Farah, waktu semakin terasa malas bergerak!
”Kamu tidak akan melakukannya Farah, kamu tidak pernah memohon untuk cinta.” Gerry menjawab lirih, frustasi dengan keadaan, antara rindu untuk mendekap Farah, dan ketakutan kehilangan gadis yang sangat dicintainya ini.
”Ya, kamu benar, aku tidak akan memohon untuk cinta. Tidak akan pernah! Bila aku sedih dan sakit, aku hanya perlu sudut gelap untuk menangis sendirian, untuk kemudian kembali tersenyum dihadapan dunia. Itulah sebabnya, mereka pikir, aku tidak pernah mencintai mereka.”
”Ya Farah, seperti aku pikir, bahwa kamu tidak pernah benar-benar menginginkan aku meski aku sangat menginginkan kamu!” Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa kontrol.
”Maaf? Maksud kamu apa?” Farah mendelik kaget.
”Maukah kamu bertemu denganku lagi? Mungkin di tempat lain, di Jerman?”
”Berta...?” Farah bertanya linglung.
”Aku sudah bilang kami putus sejak 2 tahun yang lalu sebelum bertemu dengan kamu, kemudian kamu memaksaku untuk menemuinya hanya karena kamu sudah memiliki Hans yang kuyakini tidak pernah kamu cintai 4 bulan yang lalu. Kamu bersamanya hanya untuk menyakiti aku kan Farah? Kami, aku dan Berta, bertemu atas saran kamu hanya untuk tetap memastikan bahwa aku tidak bisa kembali pada Berta dan hidup bersama, Berta memintaku untuk setidaknya kami memiliki kenangan indah sebelum aku kembali, dan dia mengerti bahwa aku tidak akan menikahinya.” Dihadapannya, Farah masih menatapnya, tapi sudah melembut dan penuh kedamaian seperti yang selalu dirindukannya.
”Farah, meski ada Hans, maukah kamu pergi ke Jerman bersamaku? Mungkin beberapa bulan ke depan, aku akan mempersiapkan segalanya, beri aku kesempatan untuk menjadi milikmu kembali meski hanya sesaat, Farah.”
”Gerry, aku pernah bilang. Bila kamu mencintai aku, dan kamu ingin tinggal! Maka tinggal-lah dan cintailah aku! jangan mengharapkan aku untuk memohon cinta kepadamu, apalagi mengemis dan menangis dihadapanmu. Tidak akan Gerry, aku tidak akan melakukannya! Tidak kepadamu. Tidak juga kepada yang lain! Cinta itu memahami dan mengerti, jangan menyakiti cinta dengan menghianatinya, jangan merendahkan cinta dengan tidak mempercayai-nya.”
Diraihnya tangan Farah, digenggamnya dengan erat, dirasakannya kehangatan mengalir dari sudut-sudut jemari gadis terkasihnya. Dia berbicara dengan matanya kepada gadis tercintanya ”Sorry Farah, aku tidak akan mengizinkan Hans atau pria manapun untuk bisa memilikimu. Aku akan merebut hatimu kembali. Aku akan menjauhkanmu dari Hans, Jerman akan cukup membuat jarak bagi kalian, aku akan menahanmu disana sampai aku bisa merebut cintamu kembali.”
Farah menatap lembut Gerry yang selalu membuatnya nyaman, dia juga bicara dengan matanya ”Berjuanglah untuk mendapatkan cintaku Gerry, aku ingin cukup punya arti bagi kamu. Aku tidak akan membuatnya terlalu mudah bagi kamu. Tapi aku juga tidak akan menjadikannya terlalu sulit. Karena aku sayang kamu, dan menginginkan kamu menjadi milikku. Tapi aku harus yakin, bahwa kamu benar-benar yakin dengan cintamu, maka aku ingin kamu berjuang. Sampai bertemu di Jerman, dalam rangkaian perjuangan cintamu untuk kebersamaan kita Gerry. Hans tidak pernah benar-benar menjadi kekasih, dia hanya mencoba untuk menerima cinta dari seseorang yang mengaku jatuh cinta kepadanya tanpa komitmen.”
”See you soon in Germany.” Gerry mengecup punggung tangan Farah dengan lembut.
Farah memberikan senyum termanisnya, “See you soon in Germany too.” Kemudian dibiarkannya jemari Gerry mengendur sampai akhirnya terlepas, menatap punggung Gerry yang menjauh meski sesekali masih menengok ke belakang menatapnya.
Dari udara diseantero lobby terdengar suara yang mengumumkan, “Kepada penumpang pesawat LJ 8989 tujuan Amerika Serikat, diharapkan segera menaiki pesawat melalui pintu X, pesawat akan segera take off tepat pukul 19.15”
Farah berbalik, meninggalkan airport Soekarno-Hatta Cengkareng. Dibisikkannya dengan lembut kepada dirinya sendiri, ”We’ll see... time will tell about our future.”
Selamat jalan, sampai bertemu kembali dalam episode perjuangan untuk cinta yang lainnya….
“Menangis? Dan setelah itu kamu menghabiskan seluruh waktumu hanya untuk memmbuatnya berhenti menangis sehingga kehilangan banyak kesempatan lain untuk masa depan dan kebahagiaan kamu yang katanya ingin kamu perjuangkan disini?! Aku engga ngerti deh.” Farah tidak berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang kecewa di hadapan Gerry yang dia tahu benar Gerry akan selalu frustasi bila telah membuat Farah kecewa.
Gerry merasa gagal, seperti saat Farah memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka 9 bulan yang lalu, ketika Farah mengetahui dirinya menghabiskan waktu bersama teman-temannya di club. Meski dirinya bersumpah hanya menemani Daryl dan Vincent clubbing tanpa alcohol, hanya seteguk red wine, dan lebih banyak equil ditambah secangkir kopi kental. Farah tetap meninggalkannya.
Farah tidak pernah tahu betapa dirinya hancur, sejak itu Gerry selalu ketakutan untuk pergi ke club, meski dua sahabatnya Daryl dan Vincent memaksa. Gerry merasa akan menghianati Farah, padahal mereka bukan lagi sepasang kekasih. Tapi bagi Gerry, Farah adalah kekasih yang selalu bersemayam di sudut hatinya.
“Bukan masalah seteguk red wine Gerry, tapi kamu telah mencoba untuk berbohong sama aku!” Begitu kata Farah waktu itu setelah dengan tatapannya yang sedingin es seperti menguliti dirinya saat mencoba memberikan berbagai macam keterangan seputar “clubbing case”. Farah tidak memotong sedikitpun keterangannya yang berantakan, bukan karena dia ingin berbohong pada Farah, tapi dia memang sangat depresi dengan tatapan Farah yang menusuk seperti itu. Dia sangat mencintai Farah, dia tidak sanggup mengetahui dirinya telah mengecewakan Farah, dia tidak berbohong dengan menyembunyikan “kisah seteguk wine saat clubbing bersama teman-temannya” dia hanya takut mengecewakan Farah, tapi akhirnya Farah mengetahuinya juga, dan dia tetap mengecewakan Farah, maka terjadilah apa yang paling ditakuti Gerry, mendapatkan tatapan dingin tanpa senyum, tanpa kerut kemarahan, tatapan yang paling ingin di musnahkan oleh Gerry, tatapan tanpa ekspresi! Bagi Gerry, itu adalah mimpi buruknya!
“Apa kamu pernah melihat aku marah meledak-ledak Gerry?” Farah masih menatapnya tanpa ekspresi waktu itu, dia menggeleng dengan lemah dan ketakutan, “Apa aku pernah tidak berusaha mempercayai kamu Gerry?” Dia menggeleng lagi, semakin terpuruk tersayat tatapan dingin Farah. “Lalu kenapa kamu pikir aku engga bisa ngerti kalau kamu perlu hang out bersama teman-teman kamu? Kenapa kamu pikir aku engga bisa ngerti kalau kamu perlu sekedar menghangatkan tubuh dengan wine disaat winter?” Dia diam, terpaku dengan segala energy yang menguap entah kemana.
”Kamu tidak pernah percaya bahwa aku percaya kalau kamu pasti punya alasan atas apa yang kamu lakukan. Kamu tidak cukup percaya bahwa aku sedang belajar untuk mengerti kamu karena aku mencintai kamu dengan segala perbedaan yang kita miliki. Itu artinya kamu tidak cukup memiliki sesuatu yang paling penting untuk menjadi pondasi bagi hubungan cinta kita. Maka sebaiknya kita perlu untuk mengkoreksi lagi hubungan kita Gerry.” Kilat seperti menyambar-nyambar dikepalanya saat ini, Farah masih meneruskan bicara, ”Kita tidak bisa bersama bila kita tidak saling percaya dan berusaha untuk jujur satu sama lain.” Dan sekarang badai topan menghantamnya, meruntuhkan setiap sendi tulangnya, dia hanya terpaku menatap punggung Farah yang kian menjauh.
Sekarang, saat dia telah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang teman bagi Farah -- setidaknya dia bisa tetap dekat dengan Farah meski hanya sebatas teman, dan tentunya harapan disudut hatinya yang paling dalam membuncah di dada Gerry untuk bisa kembali ketingkat yang lebih serius, tidak hanya kembali menjadi kekasih Farah, namun menjadi pasangan hidup Farah di sepanjang sisa usianya, mimpi-mimpi yang selalu dijalinnya setiap malam, yang selalu dibawa dalam do’a kepada Tuhan yang tadinya tidak pernah diajaknya bicara untuk mendiskusikan segala hajat atau keinginannya. Farah telah membawanya kembali pada Tuhannya – tapi saat ini, dia telah kembali mengecewakan Farah. Cinta telah membuatnya linglung dan bodoh.
”Kamu benar-benar mencintai Berta, Gerry?” dia menggeleng dengan lemah, Farah masih menatapnya, mengulitinya dengan perih, ”Aku tidak pernah mencintai orang lain lagi setelah Heidy pergi 6 tahun yang lalu kecuali kamu Farah.” jerit Gerry dalam hati dengan pilu. ”Lalu kenapa kamu memberinya waktu dan perhatian seolah-olah kamu memberinya harapan untuk bisa bersama kamu kembali?”
”Sudah aku bilang dia menangis dan memohon, Farah!”
Senyum sarkas menghiasi sudut bibir Farah, Gerry semakin menciut, kemudian menjadi tawa mengejek yang rasanya seperti ingin menelan dirinya bulat-bulat, ”Kamu tidak pernah nonton film atau baca novel Gerry? Tidakkah kamu tahu kalau perempuan itu selalu menangis atau merajuk dan ngambek untuk mendapatkan keinginannya?”
”Ya, dan kenyataannya itu mempengaruhi aku!” Hati Gerry terasa mencelos menucapkannya, ”Tapi kamu tidak pernah menangis dihadapanku seperti wanita-wanita lain yang memohon cintaku, Farah! Apa itu artinya kamu tidak pernah mencintai aku?!” Dia ingin mengucapkannya keras-keras, berteriak sekuat tenaga supaya Farah atau siapapun bisa mendengar jerit hatinya, namun yang terjadi dia hanya diam, dan merasakan perih menusuk-nusuk melukai hatinya.
Farah masih tertawa, kemudian menatap Gerry jenaka dengan kerlip bintang kecil di dalamnya, tatapan yang selalu dirindukannya, ”Sekarang, kalau aku menangis dihadapan kamu kemudian aku bilang, ’Gerry, aku ingin mobil, rumah, perhiasan, keliling dunia, dan lain sebagainya’, apakah kamu akan segera memberikannya ke aku?” Bila tatapan jenaka dan senyum menggoda ini ada pada waktu dan tempat yang tepat, dengan segala kerinduannya dia akan merengutnya dalam dekapan dan membiarkan Farah meronta-ronta sambil memukuli dadanya seperti dulu di waktu yang rasanya telah seabad berlalu... tanpa Farah, waktu semakin terasa malas bergerak!
”Kamu tidak akan melakukannya Farah, kamu tidak pernah memohon untuk cinta.” Gerry menjawab lirih, frustasi dengan keadaan, antara rindu untuk mendekap Farah, dan ketakutan kehilangan gadis yang sangat dicintainya ini.
”Ya, kamu benar, aku tidak akan memohon untuk cinta. Tidak akan pernah! Bila aku sedih dan sakit, aku hanya perlu sudut gelap untuk menangis sendirian, untuk kemudian kembali tersenyum dihadapan dunia. Itulah sebabnya, mereka pikir, aku tidak pernah mencintai mereka.”
”Ya Farah, seperti aku pikir, bahwa kamu tidak pernah benar-benar menginginkan aku meski aku sangat menginginkan kamu!” Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa kontrol.
”Maaf? Maksud kamu apa?” Farah mendelik kaget.
”Maukah kamu bertemu denganku lagi? Mungkin di tempat lain, di Jerman?”
”Berta...?” Farah bertanya linglung.
”Aku sudah bilang kami putus sejak 2 tahun yang lalu sebelum bertemu dengan kamu, kemudian kamu memaksaku untuk menemuinya hanya karena kamu sudah memiliki Hans yang kuyakini tidak pernah kamu cintai 4 bulan yang lalu. Kamu bersamanya hanya untuk menyakiti aku kan Farah? Kami, aku dan Berta, bertemu atas saran kamu hanya untuk tetap memastikan bahwa aku tidak bisa kembali pada Berta dan hidup bersama, Berta memintaku untuk setidaknya kami memiliki kenangan indah sebelum aku kembali, dan dia mengerti bahwa aku tidak akan menikahinya.” Dihadapannya, Farah masih menatapnya, tapi sudah melembut dan penuh kedamaian seperti yang selalu dirindukannya.
”Farah, meski ada Hans, maukah kamu pergi ke Jerman bersamaku? Mungkin beberapa bulan ke depan, aku akan mempersiapkan segalanya, beri aku kesempatan untuk menjadi milikmu kembali meski hanya sesaat, Farah.”
”Gerry, aku pernah bilang. Bila kamu mencintai aku, dan kamu ingin tinggal! Maka tinggal-lah dan cintailah aku! jangan mengharapkan aku untuk memohon cinta kepadamu, apalagi mengemis dan menangis dihadapanmu. Tidak akan Gerry, aku tidak akan melakukannya! Tidak kepadamu. Tidak juga kepada yang lain! Cinta itu memahami dan mengerti, jangan menyakiti cinta dengan menghianatinya, jangan merendahkan cinta dengan tidak mempercayai-nya.”
Diraihnya tangan Farah, digenggamnya dengan erat, dirasakannya kehangatan mengalir dari sudut-sudut jemari gadis terkasihnya. Dia berbicara dengan matanya kepada gadis tercintanya ”Sorry Farah, aku tidak akan mengizinkan Hans atau pria manapun untuk bisa memilikimu. Aku akan merebut hatimu kembali. Aku akan menjauhkanmu dari Hans, Jerman akan cukup membuat jarak bagi kalian, aku akan menahanmu disana sampai aku bisa merebut cintamu kembali.”
Farah menatap lembut Gerry yang selalu membuatnya nyaman, dia juga bicara dengan matanya ”Berjuanglah untuk mendapatkan cintaku Gerry, aku ingin cukup punya arti bagi kamu. Aku tidak akan membuatnya terlalu mudah bagi kamu. Tapi aku juga tidak akan menjadikannya terlalu sulit. Karena aku sayang kamu, dan menginginkan kamu menjadi milikku. Tapi aku harus yakin, bahwa kamu benar-benar yakin dengan cintamu, maka aku ingin kamu berjuang. Sampai bertemu di Jerman, dalam rangkaian perjuangan cintamu untuk kebersamaan kita Gerry. Hans tidak pernah benar-benar menjadi kekasih, dia hanya mencoba untuk menerima cinta dari seseorang yang mengaku jatuh cinta kepadanya tanpa komitmen.”
”See you soon in Germany.” Gerry mengecup punggung tangan Farah dengan lembut.
Farah memberikan senyum termanisnya, “See you soon in Germany too.” Kemudian dibiarkannya jemari Gerry mengendur sampai akhirnya terlepas, menatap punggung Gerry yang menjauh meski sesekali masih menengok ke belakang menatapnya.
Dari udara diseantero lobby terdengar suara yang mengumumkan, “Kepada penumpang pesawat LJ 8989 tujuan Amerika Serikat, diharapkan segera menaiki pesawat melalui pintu X, pesawat akan segera take off tepat pukul 19.15”
Farah berbalik, meninggalkan airport Soekarno-Hatta Cengkareng. Dibisikkannya dengan lembut kepada dirinya sendiri, ”We’ll see... time will tell about our future.”
Selamat jalan, sampai bertemu kembali dalam episode perjuangan untuk cinta yang lainnya….
read in english
back to blueSaphier’s blog