Tuesday, December 16, 2008

I love you Cinta

Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan… sampai-sampai tidak tau lagi mana yang prioritas… seolah semuanya prioritas. Pusing!

Telepon dari nomor GSM berbunyi, “Ya, ada yang bisa dibantu?” menjaga nada suara tetap stabil dan seramah mungkin sambil usaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan. Coret sana-coret sini, buat table, buat catatan, dan lain sebagianya. “Ya, baik, kami akan konfirmasikan secepatnya ya, nomor telepon yang bisa di hubungi berapa?” mencoba menutup pembicaraan secepat mungkin. “Baik, terim…..” telephone dari nomor CDMA sekarang juga berdering,
“…a kasih. Selamat siang!”

Dilayar berkedip-kedip nama Cinta anakku yang baru berusia 8 tahun. GSM ditutup untuk menyambut CDMA, ”Ya sayang, ada apa?” tetap sambil mengerjakan segala hal yang bertebaran di depanku, data, informasi, potongan-potongan post it warna-warni yang menuntut perhatian dengan stabilo warna-warni pula, yang menginformasikan skala prioritas yang semakin tidak jelas urutannya.
”Aku tadi dimarahin lagi sama bu guru bunda.” ada sesak memalu di dalam hatiku.
”Kenapa sayang? Bu guru tidak mungkin memarahi kalau tidak ada sebabnya kan?” Aku mencoba untuk tidak memihak sekaligus mengajari Cinta anakku untuk bersikap netral sebelum mengetahui persoalan yang sesungguhnya.
”Aku tidak bisa mengerjakan ulangan bunda. Aku dapet nilai 3.”
”Apa yang sulit sayang? Waktu pelajaran di kelas tidak tanya bu guru?”
Aku juga tidak akan menghakimi sebuah nilai diatas kertas begitu saja.
”Aku takut bunda, bu guru marah-marah terus. Aku di pindahkan duduk sama Vony, dia nakalin aku terus, ngambilin pensil dan penghapus aku. Buku catatan aku di coret-coret. Kakiku di injek.” Aku kaget mendengar penjelasan dari Cinta. Ini keluhan ketiga kalinya tentang kemarahan ibu guru dan kenakalan Vony kepada Cinta anakku. Tapi aku masih terus berusaha untuk tidak emosional.

Sejak aku menghentikan les privat di rumah bu guru tersebut anakku selalu mendapat nilai di bawah 5, dan sering dimarahi di muka kelas, sementara keadaan anakku pasti semakin tidak nyaman dengan dipindahkan duduk bersama anak yang paling usil di kelas, Vony. Akhirnya Cinta semakin takut sekolah, dia bilang lebih baik bantu bunda jagain toko bersama bi Nunik kalau bunda ke kantor daripada sekolah. Aku miris sekali. Aku bukan ingin mengirit biaya pendidikan, tapi bagiku,
Cinta harus juga punya waktu bermain selain belajar di sekolah, dia baru 8 tahun, aku tidak ingin masa kanak-kanaknya terampas di sekolah dengan alasan pendidikan. Ini masa-nya bagi dia untuk bermain disamping belajar. Bukan hanya belajar teori dan belajar angka saja, Cinta perlu belajar hidup.

Tentu aku ingin Cinta menajdi anak yang pandai, tapi bukan hanya pandai di atas kertas namun egois dan merendahkan kawan-kawan ataupun lingkungannya, Cinta juga harus belajar berbagi dan bersosialisasi dengan bermain bersama teman-teman sebaya untuk bisa mengenal lingkungannya dengan baik. Tapi rupanya si ibu guru merasa income-nya berkurang, dan dengan kekuasaannya mengitimidasi muridnya yang tidak mengambil les privat dengan nilai buruk dan akan terancam tidak naik kelas. Guru mengintimidasi murid yang berusia 8 tahun? Guru macam apa? Pendidik macam apa? Tapi aku Cuma bisa mengadukannya ke kepala sekolah, dan akibatnya anakku semakin terintimidasi. Aku jadi serba salah. Aku berencana memindahkannya ke sekolah lain, tapi biayanya mahal sekali. Aku harus menabung dulu. Aku masih banyak keperluan untuk dibayarkan, dan kami bukan keluarga kaya.

Waktu pertama kali Cinta mengadukan hal tersebut kepadaku, aku Cuma bilang, ”Sayang, hidup ini pada kenyataannya tidak akan selalu baik setiap hari. Ada saat-saat dimana kita harus bisa menerima keadaan sambil bertahan. Bunda tau kamu sedih, tapi saat ini bunda mohon untuk bersabar ya, katakan pada bunda apapun yang kamu alami di sekolah, bunda akan bantu semampu bunda, dan bunda minta ke ikhlasan kamu untuk bersabar, ya sayang!” Cinta hanya mengangguk sambil mengusap air matanya dan memelukku. Aku memang tidak mengeluarkan air mata, namun hatiku berdarah pada saat itu. ”Bunda macam apa aku ini? Tidak mampu melindungi kebahagiaan buah hatinya sendiri?” teriakan keras di dadaku menghantam ulu hatiku dengan dahsyatnya.

Suara Cinta disebrang sana memecah lamunanku
”Bunda, tapi aku sudah engga nangis lagi di kelas. Seperti yang bunda bilang, aku akan sabar dan tidak menagis de depan mereka. Aku ingin disayang Tuhan, jadi aku tidak menangis, apa aku sudah sabar sekarang bunda? Apa Tuhan akan sayang sama aku bunda?”

Siapa yang tidak miris mendengar buah hatinya bicara seperti itu?
”Ya sayang, Tuhan sayang dan cinta sama kamu, makanya kami memanggilmu Cinta, karena Tuhan dan kami semua sayang dan Cinta kamu nak.”

”Lila.... dipanggil bu Farah ke ruangan untuk meeting program!” Anne memberikan notes ke mejaku. Aku hanya mengangguk.

”Maafkan bunda sayang, sekarang bunda harus meeting, bunda usahakan pulang cepat hari ini ya, kamu jangan lupa makan dan tidur siang ya sayang. I love you Cinta.”

”I love you too bunda.” dan klik! Telepon di tutup, aku bergegas menuju ruangan bu Farah.

”Bagaimana progress untuk program yang minggu depan? Konsepnya sudah bisa di klarifikasi dengan media kan?” bu Farah bicara langsung pada inti persoalan.

”Ya bu, untuk program tidak ada masalah yang terlalu significant, hanya untuk publikasi kita sepertinya akan keteteran, kecuali kita melakukan manuver di media TV dan radio setiap hari... itu artinya pembengkakan budget sampai dengan sekitar 200% untuk publikasi, waktunya hanya seminggu lagi... kita tidak punya banyak pilihan, kecuali kita mau mengambil resiko acaranya sepi pengunjung. Dalam program yg dipersiapkan dalam waktu yang sempit salah satu resikonya memang pembengkakan budget, atau meminimalisasikan konsep menjadi sederhana. Saya kembalikan kepada ibu untuk memutuskan.”

”Ya Lila, kita akan coba cari solusi terbaiknya...” handphone di atas meja bergetar, bu Farah menyambutnya, ”Sebentar Lila, dari Catleya di Paris.” Catleya yang berusia 10 tahun adalah anak bu Farah yang sedang berlibur di Paris di tempat nenek mereka bersama adiknya Charles 7 tahun. Liburan kali ini bu Farah tidak menemani anak-anaknya berlibur karena ada banyak proyek yang harus di tangani, jadi mereka berlibur bersama suster dan pengawalnya saja.

Tiba-tiba wajah bu Farah berubah murung dan sedih, entah apa yang disampaikan Catleya dan Charles di seberang sana,
”Ya nak, mama akan bicara dengan bu guru ya... mama juga akan kirim pulsa segera. Mama kangen, sampai ketemu minggu depan ya, mama janji akan selesaikan. Mama sayang kalian, baik-baik disana ya, salam untuk nenek.”

”Catleya baru dapat informasi dari sahabatnya kalau kenaikan kelas kali ini mereka tidak sekelas, di tambah lagi guru wali kelasnya adalah guru yang tidak disukainya. Jadi dia sedih dan tidak mau sekolah setelah liburan ini.” Bu Farah memberi penjelasan kepadaku.
”Sebentar ya, saya akan telpon sekolah Catleya dulu.”

Aku mengangguk takzim ”Silahkan ibu.” Jawabku kalem penuh empati. Aku mengerti keadaannya, karena kami memiliki persoalan yang hampir sama. Bu Farah bicara ditelpon dengan seseorang diseberang sana yang ku yakini salah satu guru atau kepala sekolah Catleya.

”Ya bu, tapi bagaimana mungkin anak saya bisa belajar dengan baik bila dia tidak bahagia? Dia akan tetap bersosialisasi meski sekelas dengan sahabatnya. Saya akan pastikan itu!” Aku terkejut karena bu Farah menangis, aku sampai bingung harus melakukan apa, suaranya semakin meninggi, aku hanya duduk terpaku, dan tiba-tiba Mr. Ditter suami bu Farah yang ada di ruangan sebelah menghambur masuk ke dalam ruangan bu Farah, terkejut melihat keadaan bu Farah yang menangis, Mr. Ditter berfikir akulah yang menyebabkannya, matanya menatapku dengan penuh tanda tanya, tapi kemudian bu Farah menceritakan sambil tetap membiarkan telepon tersambung.

”Sudah! Pindahkan saja Catleya ke sekolah lain bersama sahabatnya, untuk apa sekolah ditempat yang tidak bisa membuat murid-muridnya bahagia pergi ke sekolah? Guru macam apa yang membuat hati muridnya sedih saat sekolah. Alasan apa itu supaya Catleya bersosialisasi dengan teman-teman lainnya. Memangnya kalau Catleya tetap sekelas dengan Tania mereka tidak bersosialisasi? Huh alasan yang dibuat-buat! Sudah pindah saja!”

Diam-diam aku menyingkir, aku rasa mereka perlu privacy. Jadi aku pergi dan mereka menutup pintu ruangan. Jadi kurasa keputusanku untuk meninggalkan ruangan adalah tepat. Entah apa yang kemudian terjadi di dalam.

Saat itu aku hanya termenung, memikirkan telepon dan keluhan anakku Cinta, memikirkan saranku untuk Cinta agar bertahan dan menerima keadaan yang buruk menimpa dirinya di sekolah karena keterbatasan kami. Memikirkan betapa mudahnya bagi bu Farah dan Mr. Ditter memindahkan anak-anaknya ke sekolah lain yang biayanya ratusan juta rupiah untuk membuat anak-anak merekia tetap bahagia di sekolah...

Apakah aku bukan seorang ibu yang baik? Apakah aku telah membuat anakku tidak bahagia? Apakah aku tidak memperjuangkan kebahagiaan anakku dengan maksimal?
Entahlah... namun yang aku tahu... hidup memang tidak selalu indah... anak-anak juga perlu belajar jujur dalam hidup... jujur bahwa ada hal-hal yang tidak selalu menyenangkan dalam kehidupan ini untuk mereka hadapi... jujur menghadapi kenyataan... untuk bisa belajar menerima kebaikan dan keburukan dengan sama mesranya...

I love you Cinta... semoga kamu tau.. bunda sayang kamu.. dengan segala keterbatasan yang bunda miliki...

Kita berbeda dengan mereka Cinta... kita harus punya cara sendiri untuk bisa bertahan hidup... karena kita bukan mereka... Tuhan akan menyayangimu Cinta.. karena kamu anak bunda yang sabar... Tuhan mencintaimu Cinta... kami mencintaimu Cinta.. dan kami akan tetap mengajakmu terus belajar untuk hidup... dengan kapasitas yang kita punya.

I love you Cinta...

Love,

Bluesaphier

read in english

back to blueSaphier’s blog



Saturday, November 29, 2008

Bagging 4 love? No way...! [Memohon untuk cinta? Tidak Akan...!]

“Dia menangis di hadapanku sambil memohon untuk memberiku kesempatan lagi, Farah.” Gerry menatap orang yang dicintainya dengan tatapan putus asa.

“Menangis? Dan setelah itu kamu menghabiskan seluruh waktumu hanya untuk memmbuatnya berhenti menangis sehingga kehilangan banyak kesempatan lain untuk masa depan dan kebahagiaan kamu yang katanya ingin kamu perjuangkan disini?! Aku engga ngerti deh.” Farah tidak berusaha untuk menyembunyikan wajahnya yang kecewa di hadapan Gerry yang dia tahu benar Gerry akan selalu frustasi bila telah membuat Farah kecewa.

Gerry merasa gagal, seperti saat Farah memutuskan untuk menyudahi hubungan mereka 9 bulan yang lalu, ketika Farah mengetahui dirinya menghabiskan waktu bersama teman-temannya di club. Meski dirinya bersumpah hanya menemani Daryl dan Vincent clubbing tanpa alcohol, hanya seteguk red wine, dan lebih banyak equil ditambah secangkir kopi kental. Farah tetap meninggalkannya.
Farah tidak pernah tahu betapa dirinya hancur, sejak itu Gerry selalu ketakutan untuk pergi ke club, meski dua sahabatnya Daryl dan Vincent memaksa. Gerry merasa akan menghianati Farah, padahal mereka bukan lagi sepasang kekasih. Tapi bagi Gerry, Farah adalah kekasih yang selalu bersemayam di sudut hatinya.

“Bukan masalah seteguk red wine Gerry, tapi kamu telah mencoba untuk berbohong sama aku!” Begitu kata Farah waktu itu setelah dengan tatapannya yang sedingin es seperti menguliti dirinya saat mencoba memberikan berbagai macam keterangan seputar “clubbing case”. Farah tidak memotong sedikitpun keterangannya yang berantakan, bukan karena dia ingin berbohong pada Farah, tapi dia memang sangat depresi dengan tatapan Farah yang menusuk seperti itu. Dia sangat mencintai Farah, dia tidak sanggup mengetahui dirinya telah mengecewakan Farah, dia tidak berbohong dengan menyembunyikan “kisah seteguk wine saat clubbing bersama teman-temannya” dia hanya takut mengecewakan Farah, tapi akhirnya Farah mengetahuinya juga, dan dia tetap mengecewakan Farah, maka terjadilah apa yang paling ditakuti Gerry, mendapatkan tatapan dingin tanpa senyum, tanpa kerut kemarahan, tatapan yang paling ingin di musnahkan oleh Gerry, tatapan tanpa ekspresi! Bagi Gerry, itu adalah mimpi buruknya!

“Apa kamu pernah melihat aku marah meledak-ledak Gerry?” Farah masih menatapnya tanpa ekspresi waktu itu, dia menggeleng dengan lemah dan ketakutan, “Apa aku pernah tidak berusaha mempercayai kamu Gerry?” Dia menggeleng lagi, semakin terpuruk tersayat tatapan dingin Farah. “Lalu kenapa kamu pikir aku engga bisa ngerti kalau kamu perlu hang out bersama teman-teman kamu? Kenapa kamu pikir aku engga bisa ngerti kalau kamu perlu sekedar menghangatkan tubuh dengan wine disaat winter?” Dia diam, terpaku dengan segala energy yang menguap entah kemana.

”Kamu tidak pernah percaya bahwa aku percaya kalau kamu pasti punya alasan atas apa yang kamu lakukan. Kamu tidak cukup percaya bahwa aku sedang belajar untuk mengerti kamu karena aku mencintai kamu dengan segala perbedaan yang kita miliki. Itu artinya kamu tidak cukup memiliki sesuatu yang paling penting untuk menjadi pondasi bagi hubungan cinta kita. Maka sebaiknya kita perlu untuk mengkoreksi lagi hubungan kita Gerry.” Kilat seperti menyambar-nyambar dikepalanya saat ini, Farah masih meneruskan bicara, ”Kita tidak bisa bersama bila kita tidak saling percaya dan berusaha untuk jujur satu sama lain.” Dan sekarang badai topan menghantamnya, meruntuhkan setiap sendi tulangnya, dia hanya terpaku menatap punggung Farah yang kian menjauh.

Sekarang, saat dia telah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang teman bagi Farah -- setidaknya dia bisa tetap dekat dengan Farah meski hanya sebatas teman, dan tentunya harapan disudut hatinya yang paling dalam membuncah di dada Gerry untuk bisa kembali ketingkat yang lebih serius, tidak hanya kembali menjadi kekasih Farah, namun menjadi pasangan hidup Farah di sepanjang sisa usianya, mimpi-mimpi yang selalu dijalinnya setiap malam, yang selalu dibawa dalam do’a kepada Tuhan yang tadinya tidak pernah diajaknya bicara untuk mendiskusikan segala hajat atau keinginannya. Farah telah membawanya kembali pada Tuhannya – tapi saat ini, dia telah kembali mengecewakan Farah. Cinta telah membuatnya linglung dan bodoh.

”Kamu benar-benar mencintai Berta, Gerry?” dia menggeleng dengan lemah, Farah masih menatapnya, mengulitinya dengan perih, ”Aku tidak pernah mencintai orang lain lagi setelah Heidy pergi 6 tahun yang lalu kecuali kamu Farah.” jerit Gerry dalam hati dengan pilu. ”Lalu kenapa kamu memberinya waktu dan perhatian seolah-olah kamu memberinya harapan untuk bisa bersama kamu kembali?”

”Sudah aku bilang dia menangis dan memohon, Farah!”

Senyum sarkas menghiasi sudut bibir Farah, Gerry semakin menciut, kemudian menjadi tawa mengejek yang rasanya seperti ingin menelan dirinya bulat-bulat, ”Kamu tidak pernah nonton film atau baca novel Gerry? Tidakkah kamu tahu kalau perempuan itu selalu menangis atau merajuk dan ngambek untuk mendapatkan keinginannya?”

”Ya, dan kenyataannya itu mempengaruhi aku!” Hati Gerry terasa mencelos menucapkannya, ”Tapi kamu tidak pernah menangis dihadapanku seperti wanita-wanita lain yang memohon cintaku, Farah! Apa itu artinya kamu tidak pernah mencintai aku?!” Dia ingin mengucapkannya keras-keras, berteriak sekuat tenaga supaya Farah atau siapapun bisa mendengar jerit hatinya, namun yang terjadi dia hanya diam, dan merasakan perih menusuk-nusuk melukai hatinya.

Farah masih tertawa, kemudian menatap Gerry jenaka dengan kerlip bintang kecil di dalamnya, tatapan yang selalu dirindukannya, ”Sekarang, kalau aku menangis dihadapan kamu kemudian aku bilang, ’Gerry, aku ingin mobil, rumah, perhiasan, keliling dunia, dan lain sebagainya’, apakah kamu akan segera memberikannya ke aku?” Bila tatapan jenaka dan senyum menggoda ini ada pada waktu dan tempat yang tepat, dengan segala kerinduannya dia akan merengutnya dalam dekapan dan membiarkan Farah meronta-ronta sambil memukuli dadanya seperti dulu di waktu yang rasanya telah seabad berlalu... tanpa Farah, waktu semakin terasa malas bergerak!

”Kamu tidak akan melakukannya Farah, kamu tidak pernah memohon untuk cinta.” Gerry menjawab lirih, frustasi dengan keadaan, antara rindu untuk mendekap Farah, dan ketakutan kehilangan gadis yang sangat dicintainya ini.

”Ya, kamu benar, aku tidak akan memohon untuk cinta. Tidak akan pernah! Bila aku sedih dan sakit, aku hanya perlu sudut gelap untuk menangis sendirian, untuk kemudian kembali tersenyum dihadapan dunia. Itulah sebabnya, mereka pikir, aku tidak pernah mencintai mereka.”

”Ya Farah, seperti aku pikir, bahwa kamu tidak pernah benar-benar menginginkan aku meski aku sangat menginginkan kamu!” Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa kontrol.

”Maaf? Maksud kamu apa?” Farah mendelik kaget.

”Maukah kamu bertemu denganku lagi? Mungkin di tempat lain, di Jerman?”

”Berta...?” Farah bertanya linglung.

”Aku sudah bilang kami putus sejak 2 tahun yang lalu sebelum bertemu dengan kamu, kemudian kamu memaksaku untuk menemuinya hanya karena kamu sudah memiliki Hans yang kuyakini tidak pernah kamu cintai 4 bulan yang lalu. Kamu bersamanya hanya untuk menyakiti aku kan Farah? Kami, aku dan Berta, bertemu atas saran kamu hanya untuk tetap memastikan bahwa aku tidak bisa kembali pada Berta dan hidup bersama, Berta memintaku untuk setidaknya kami memiliki kenangan indah sebelum aku kembali, dan dia mengerti bahwa aku tidak akan menikahinya.” Dihadapannya, Farah masih menatapnya, tapi sudah melembut dan penuh kedamaian seperti yang selalu dirindukannya.

”Farah, meski ada Hans, maukah kamu pergi ke Jerman bersamaku? Mungkin beberapa bulan ke depan, aku akan mempersiapkan segalanya, beri aku kesempatan untuk menjadi milikmu kembali meski hanya sesaat, Farah.”

”Gerry, aku pernah bilang. Bila kamu mencintai aku, dan kamu ingin tinggal! Maka tinggal-lah dan cintailah aku! jangan mengharapkan aku untuk memohon cinta kepadamu, apalagi mengemis dan menangis dihadapanmu. Tidak akan Gerry, aku tidak akan melakukannya! Tidak kepadamu. Tidak juga kepada yang lain! Cinta itu memahami dan mengerti, jangan menyakiti cinta dengan menghianatinya, jangan merendahkan cinta dengan tidak mempercayai-nya.”

Diraihnya tangan Farah, digenggamnya dengan erat, dirasakannya kehangatan mengalir dari sudut-sudut jemari gadis terkasihnya. Dia berbicara dengan matanya kepada gadis tercintanya ”Sorry Farah, aku tidak akan mengizinkan Hans atau pria manapun untuk bisa memilikimu. Aku akan merebut hatimu kembali. Aku akan menjauhkanmu dari Hans, Jerman akan cukup membuat jarak bagi kalian, aku akan menahanmu disana sampai aku bisa merebut cintamu kembali.”

Farah menatap lembut Gerry yang selalu membuatnya nyaman, dia juga bicara dengan matanya ”Berjuanglah untuk mendapatkan cintaku Gerry, aku ingin cukup punya arti bagi kamu. Aku tidak akan membuatnya terlalu mudah bagi kamu. Tapi aku juga tidak akan menjadikannya terlalu sulit. Karena aku sayang kamu, dan menginginkan kamu menjadi milikku. Tapi aku harus yakin, bahwa kamu benar-benar yakin dengan cintamu, maka aku ingin kamu berjuang. Sampai bertemu di Jerman, dalam rangkaian perjuangan cintamu untuk kebersamaan kita Gerry. Hans tidak pernah benar-benar menjadi kekasih, dia hanya mencoba untuk menerima cinta dari seseorang yang mengaku jatuh cinta kepadanya tanpa komitmen.”

”See you soon in Germany.” Gerry mengecup punggung tangan Farah dengan lembut.

Farah memberikan senyum termanisnya, “See you soon in Germany too.” Kemudian dibiarkannya jemari Gerry mengendur sampai akhirnya terlepas, menatap punggung Gerry yang menjauh meski sesekali masih menengok ke belakang menatapnya.

Dari udara diseantero lobby terdengar suara yang mengumumkan, “Kepada penumpang pesawat LJ 8989 tujuan Amerika Serikat, diharapkan segera menaiki pesawat melalui pintu X, pesawat akan segera take off tepat pukul 19.15”

Farah berbalik, meninggalkan airport Soekarno-Hatta Cengkareng. Dibisikkannya dengan lembut kepada dirinya sendiri, ”We’ll see... time will tell about our future.”

Selamat jalan, sampai bertemu kembali dalam episode perjuangan untuk cinta yang lainnya….

read in english

back to blueSaphier’s blog


Kampung Girl by Uncle JC :p

Sumpah, kocak banget...! I can't stop laughing, so funny & creative parody music... Hwakakakak... Uncle JC is bule gilllaaaa.....