Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan… sampai-sampai tidak tau lagi mana yang prioritas… seolah semuanya prioritas. Pusing!
Telepon dari nomor GSM berbunyi, “Ya, ada yang bisa dibantu?” menjaga nada suara tetap stabil dan seramah mungkin sambil usaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan. Coret sana-coret sini, buat table, buat catatan, dan lain sebagianya. “Ya, baik, kami akan konfirmasikan secepatnya ya, nomor telepon yang bisa di hubungi berapa?” mencoba menutup pembicaraan secepat mungkin. “Baik, terim…..” telephone dari nomor CDMA sekarang juga berdering, “…a kasih. Selamat siang!”
Dilayar berkedip-kedip nama Cinta anakku yang baru berusia 8 tahun. GSM ditutup untuk menyambut CDMA, ”Ya sayang, ada apa?” tetap sambil mengerjakan segala hal yang bertebaran di depanku, data, informasi, potongan-potongan post it warna-warni yang menuntut perhatian dengan stabilo warna-warni pula, yang menginformasikan skala prioritas yang semakin tidak jelas urutannya.
”Aku tadi dimarahin lagi sama bu guru bunda.” ada sesak memalu di dalam hatiku.
”Kenapa sayang? Bu guru tidak mungkin memarahi kalau tidak ada sebabnya kan?” Aku mencoba untuk tidak memihak sekaligus mengajari Cinta anakku untuk bersikap netral sebelum mengetahui persoalan yang sesungguhnya. ”Aku tidak bisa mengerjakan ulangan bunda. Aku dapet nilai 3.”
”Apa yang sulit sayang? Waktu pelajaran di kelas tidak tanya bu guru?” Aku juga tidak akan menghakimi sebuah nilai diatas kertas begitu saja.
”Aku takut bunda, bu guru marah-marah terus. Aku di pindahkan duduk sama Vony, dia nakalin aku terus, ngambilin pensil dan penghapus aku. Buku catatan aku di coret-coret. Kakiku di injek.” Aku kaget mendengar penjelasan dari Cinta. Ini keluhan ketiga kalinya tentang kemarahan ibu guru dan kenakalan Vony kepada Cinta anakku. Tapi aku masih terus berusaha untuk tidak emosional.
Sejak aku menghentikan les privat di rumah bu guru tersebut anakku selalu mendapat nilai di bawah 5, dan sering dimarahi di muka kelas, sementara keadaan anakku pasti semakin tidak nyaman dengan dipindahkan duduk bersama anak yang paling usil di kelas, Vony. Akhirnya Cinta semakin takut sekolah, dia bilang lebih baik bantu bunda jagain toko bersama bi Nunik kalau bunda ke kantor daripada sekolah. Aku miris sekali. Aku bukan ingin mengirit biaya pendidikan, tapi bagiku, Cinta harus juga punya waktu bermain selain belajar di sekolah, dia baru 8 tahun, aku tidak ingin masa kanak-kanaknya terampas di sekolah dengan alasan pendidikan. Ini masa-nya bagi dia untuk bermain disamping belajar. Bukan hanya belajar teori dan belajar angka saja, Cinta perlu belajar hidup.
Tentu aku ingin Cinta menajdi anak yang pandai, tapi bukan hanya pandai di atas kertas namun egois dan merendahkan kawan-kawan ataupun lingkungannya, Cinta juga harus belajar berbagi dan bersosialisasi dengan bermain bersama teman-teman sebaya untuk bisa mengenal lingkungannya dengan baik. Tapi rupanya si ibu guru merasa income-nya berkurang, dan dengan kekuasaannya mengitimidasi muridnya yang tidak mengambil les privat dengan nilai buruk dan akan terancam tidak naik kelas. Guru mengintimidasi murid yang berusia 8 tahun? Guru macam apa? Pendidik macam apa? Tapi aku Cuma bisa mengadukannya ke kepala sekolah, dan akibatnya anakku semakin terintimidasi. Aku jadi serba salah. Aku berencana memindahkannya ke sekolah lain, tapi biayanya mahal sekali. Aku harus menabung dulu. Aku masih banyak keperluan untuk dibayarkan, dan kami bukan keluarga kaya.
Waktu pertama kali Cinta mengadukan hal tersebut kepadaku, aku Cuma bilang, ”Sayang, hidup ini pada kenyataannya tidak akan selalu baik setiap hari. Ada saat-saat dimana kita harus bisa menerima keadaan sambil bertahan. Bunda tau kamu sedih, tapi saat ini bunda mohon untuk bersabar ya, katakan pada bunda apapun yang kamu alami di sekolah, bunda akan bantu semampu bunda, dan bunda minta ke ikhlasan kamu untuk bersabar, ya sayang!” Cinta hanya mengangguk sambil mengusap air matanya dan memelukku. Aku memang tidak mengeluarkan air mata, namun hatiku berdarah pada saat itu. ”Bunda macam apa aku ini? Tidak mampu melindungi kebahagiaan buah hatinya sendiri?” teriakan keras di dadaku menghantam ulu hatiku dengan dahsyatnya.
Suara Cinta disebrang sana memecah lamunanku ”Bunda, tapi aku sudah engga nangis lagi di kelas. Seperti yang bunda bilang, aku akan sabar dan tidak menagis de depan mereka. Aku ingin disayang Tuhan, jadi aku tidak menangis, apa aku sudah sabar sekarang bunda? Apa Tuhan akan sayang sama aku bunda?”
Siapa yang tidak miris mendengar buah hatinya bicara seperti itu? ”Ya sayang, Tuhan sayang dan cinta sama kamu, makanya kami memanggilmu Cinta, karena Tuhan dan kami semua sayang dan Cinta kamu nak.”
”Lila.... dipanggil bu Farah ke ruangan untuk meeting program!” Anne memberikan notes ke mejaku. Aku hanya mengangguk.
”Maafkan bunda sayang, sekarang bunda harus meeting, bunda usahakan pulang cepat hari ini ya, kamu jangan lupa makan dan tidur siang ya sayang. I love you Cinta.”
”I love you too bunda.” dan klik! Telepon di tutup, aku bergegas menuju ruangan bu Farah.
”Bagaimana progress untuk program yang minggu depan? Konsepnya sudah bisa di klarifikasi dengan media kan?” bu Farah bicara langsung pada inti persoalan.
”Ya bu, untuk program tidak ada masalah yang terlalu significant, hanya untuk publikasi kita sepertinya akan keteteran, kecuali kita melakukan manuver di media TV dan radio setiap hari... itu artinya pembengkakan budget sampai dengan sekitar 200% untuk publikasi, waktunya hanya seminggu lagi... kita tidak punya banyak pilihan, kecuali kita mau mengambil resiko acaranya sepi pengunjung. Dalam program yg dipersiapkan dalam waktu yang sempit salah satu resikonya memang pembengkakan budget, atau meminimalisasikan konsep menjadi sederhana. Saya kembalikan kepada ibu untuk memutuskan.”
”Ya Lila, kita akan coba cari solusi terbaiknya...” handphone di atas meja bergetar, bu Farah menyambutnya, ”Sebentar Lila, dari Catleya di Paris.” Catleya yang berusia 10 tahun adalah anak bu Farah yang sedang berlibur di Paris di tempat nenek mereka bersama adiknya Charles 7 tahun. Liburan kali ini bu Farah tidak menemani anak-anaknya berlibur karena ada banyak proyek yang harus di tangani, jadi mereka berlibur bersama suster dan pengawalnya saja.
Tiba-tiba wajah bu Farah berubah murung dan sedih, entah apa yang disampaikan Catleya dan Charles di seberang sana, ”Ya nak, mama akan bicara dengan bu guru ya... mama juga akan kirim pulsa segera. Mama kangen, sampai ketemu minggu depan ya, mama janji akan selesaikan. Mama sayang kalian, baik-baik disana ya, salam untuk nenek.”
”Catleya baru dapat informasi dari sahabatnya kalau kenaikan kelas kali ini mereka tidak sekelas, di tambah lagi guru wali kelasnya adalah guru yang tidak disukainya. Jadi dia sedih dan tidak mau sekolah setelah liburan ini.” Bu Farah memberi penjelasan kepadaku. ”Sebentar ya, saya akan telpon sekolah Catleya dulu.”
Aku mengangguk takzim ”Silahkan ibu.” Jawabku kalem penuh empati. Aku mengerti keadaannya, karena kami memiliki persoalan yang hampir sama. Bu Farah bicara ditelpon dengan seseorang diseberang sana yang ku yakini salah satu guru atau kepala sekolah Catleya.
”Ya bu, tapi bagaimana mungkin anak saya bisa belajar dengan baik bila dia tidak bahagia? Dia akan tetap bersosialisasi meski sekelas dengan sahabatnya. Saya akan pastikan itu!” Aku terkejut karena bu Farah menangis, aku sampai bingung harus melakukan apa, suaranya semakin meninggi, aku hanya duduk terpaku, dan tiba-tiba Mr. Ditter suami bu Farah yang ada di ruangan sebelah menghambur masuk ke dalam ruangan bu Farah, terkejut melihat keadaan bu Farah yang menangis, Mr. Ditter berfikir akulah yang menyebabkannya, matanya menatapku dengan penuh tanda tanya, tapi kemudian bu Farah menceritakan sambil tetap membiarkan telepon tersambung.
”Sudah! Pindahkan saja Catleya ke sekolah lain bersama sahabatnya, untuk apa sekolah ditempat yang tidak bisa membuat murid-muridnya bahagia pergi ke sekolah? Guru macam apa yang membuat hati muridnya sedih saat sekolah. Alasan apa itu supaya Catleya bersosialisasi dengan teman-teman lainnya. Memangnya kalau Catleya tetap sekelas dengan Tania mereka tidak bersosialisasi? Huh alasan yang dibuat-buat! Sudah pindah saja!”
Diam-diam aku menyingkir, aku rasa mereka perlu privacy. Jadi aku pergi dan mereka menutup pintu ruangan. Jadi kurasa keputusanku untuk meninggalkan ruangan adalah tepat. Entah apa yang kemudian terjadi di dalam.
Saat itu aku hanya termenung, memikirkan telepon dan keluhan anakku Cinta, memikirkan saranku untuk Cinta agar bertahan dan menerima keadaan yang buruk menimpa dirinya di sekolah karena keterbatasan kami. Memikirkan betapa mudahnya bagi bu Farah dan Mr. Ditter memindahkan anak-anaknya ke sekolah lain yang biayanya ratusan juta rupiah untuk membuat anak-anak merekia tetap bahagia di sekolah...
Apakah aku bukan seorang ibu yang baik? Apakah aku telah membuat anakku tidak bahagia? Apakah aku tidak memperjuangkan kebahagiaan anakku dengan maksimal?
Entahlah... namun yang aku tahu... hidup memang tidak selalu indah... anak-anak juga perlu belajar jujur dalam hidup... jujur bahwa ada hal-hal yang tidak selalu menyenangkan dalam kehidupan ini untuk mereka hadapi... jujur menghadapi kenyataan... untuk bisa belajar menerima kebaikan dan keburukan dengan sama mesranya...
I love you Cinta... semoga kamu tau.. bunda sayang kamu.. dengan segala keterbatasan yang bunda miliki...
Kita berbeda dengan mereka Cinta... kita harus punya cara sendiri untuk bisa bertahan hidup... karena kita bukan mereka... Tuhan akan menyayangimu Cinta.. karena kamu anak bunda yang sabar... Tuhan mencintaimu Cinta... kami mencintaimu Cinta.. dan kami akan tetap mengajakmu terus belajar untuk hidup... dengan kapasitas yang kita punya.
I love you Cinta...
I love you Cinta... semoga kamu tau.. bunda sayang kamu.. dengan segala keterbatasan yang bunda miliki...
Kita berbeda dengan mereka Cinta... kita harus punya cara sendiri untuk bisa bertahan hidup... karena kita bukan mereka... Tuhan akan menyayangimu Cinta.. karena kamu anak bunda yang sabar... Tuhan mencintaimu Cinta... kami mencintaimu Cinta.. dan kami akan tetap mengajakmu terus belajar untuk hidup... dengan kapasitas yang kita punya.
I love you Cinta...
Love,
Bluesaphier
read in english
back to blueSaphier’s blog